Arus
globalisasi laksana air bah, terus menggerus dan menjebol langsung pada
perubahan perilaku dan kebiasaan masyarakat. Akibatnya, masyarakat kita
termasuk salah satu yang tidak bisa berbuat banyak, terutama menimpa dunia
anak-anak. Anak-anak kita sedang kehilangan dunianya.
Lontaran keprihatinan itu muncul dari para orang tua, pendidik serta
pemerhati dunia anak-anak, setelah mengamati perilaku kehidupan anak-anak
sekarang dalam bermain, sangat lain dengan pola kehidupan orang tua mereka
semasa kanak-kanak. Menurut pengamatan dan penilaiannya, permainan anak-anak
sekarang ini tidak mendidik dan cenderung ke arah sikap yang konsumtif dan
individualistis.
Anak-anak
tempo dulu sangat tertantang oleh alam dan lingkungan hidupnya berada. Mereka
mampu memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya. Sebagai akibatnya, mereka
harus kreatif, selalu siap menghadapi tantangan dan rintangan yang muncul
setiap saat.
Menurut
Abdulah Mustafa (“PR”,24/4/97), dunia anak-anak, termasuk fantasi, imajinasi,
serta tantangan-tantangan kreativitasnya, merupakan modal yang sangat vital
terhadap kemungkinan terbentuknya suatu kepribadian seorang manusia secara
utuh. Jika kepribadian seorang manusia nantinya diterima sebagai hasil sebuah
proses, maka bahan dasarnya adalah dunia anak-anak itu. Bagaimana format yang
akan terbentuk nanti, sangatlah bergantung pada bahan dasarnya. Maka, jangan
sepelekan dunia anak-anak.
Bagi
anak-anak yang dibesarkan dalam kultur Sunda tempo dulu, sangat banyak tersedia
sarana bermain bagi mereka. Bahkan sejak pagi hingga malam hari, anak laki-laki
dan anak perempuan memiliki jenis permainan sendiri-sendiri. Ada gatrik dan
sorodot gaplok untuk anak laki-laki, dan congkak dan bekles untuk anak
perempuan, semua itu umumnya dimainkan pada siang hari.
Di malam hari
pun, terutama jika bulan sedang purnama, anak-anak masa lalu tidak pernah
melewatkan diri dengan tidur sore-sore. Mereka sangat terbiasa dan antusias
untuk bermain dan bernyanyi dengan penuh kegembiraan hingga larut malam di
halaman. Ada yang bermain ucing kalangkang, galah, pakaleng-kaleng agung, dan
sebagainya, tanpa khawatir berisik dan mengganggu orang tua. Orang tua
masa lalu juga biasanya tidak tidur sore-sore karena mereka juga terus bekerja
dan berkarya atau mengobrol sampai larut malam.
Umumnya dalam
permainan (kaulinan barudak) yang sifatnya rekreatif itu sangat bertautan
dengan kakawihan barudak. Antara kaulinan dan kakawihan itu merupakan
dwitunggal. Kaulinan dan kakawihan barudak Sunda, selanjutnya disebut KKBS,
ternyata memiliki kearifan lokal yang luar biasa. Dalam KKBS itu terkandung
hal-hal positif, seperti pemupukan sifat kebersamaan, kreativitas ataupun
kecintaan terhadap alam dan lingkungan. Permainan oray-orayan, misalnya, yang
erat dengan kakawihan itu ternyata sarat dengan nilai-nilai kebersamaan karena
dalam bermainnya harus melibatkan lebih dari lima orang.
Dalam
permainan ini anak-anak berbaris, masing-masing anak memegang ujung baju
temannya dan berjalan meliuk-liuk sambil mendendangkan lagu: “Oray-orayan.
Orang naon? Orang bungka! Bungka naon? Bungka Laut! Laut naon? Laut dipa! Dipa
naon? Di pandeuri! kok…kok…kok…!” Setelah berakhir lagu ini maka riuh rendahlah
suara anak-anak. Ada yang tertawa cekikikan, menjerit, dan sebagainya karena
dalam permainan ini, sang kepala ular harus menangkap ekornya atau anak pada
barisan paling belakang.
Contoh lain bagaimana pautan antara kaulinan dan kakawihan, dalam konteks
folklor yang disebut dengan play rhyme, adalah
huhuian (ucing hui). Permainan ini dilakukan oleh sejumlah anak, biasanya lebih
dari lima orang. Pertama-tama harus menentukan “ucing”, yang bertugas mencabut
hui (ubi), dengan cara hompimpah atau cingciripit. Melalui hompimpah,
anak-anak mengayunkan tangan sambil melantunkan sebuah lagu:“Hompimpah kaliwahon dodol jebréd, saha nu éléh, éta jadi ucing!”
Ketika suku
kata -cing, anak-anak mengangsurkan tangan bersamaan. Tahap pertama dicari mana
yang terbanyak, apakah tangannya tertelungkup atau terbuka. Pihak yang
terbanyak lulus dalam tahap pertama, sisanya kembali kembali mengayunkan
tangan, lalu kembali bersama mengangsurkan tangan ke depan. Sampai akhirnya
tinggal satu tangan yang berbeda, maka dialah yang menjadi ucing.
Selain dengan
hompimpah, bisa dilakukan dengan cara lain, yaitu cingciripit. Semua anak
meletakkan telunjuknya pada telapak tangan salah seorang anak yang juga ikut
undian, sambil menyanyikan lagu:
“Cingciripit tulang bajing kacapit,
kacapit ku bulu paré, bulu paré méméncosna, jol pa Dalang mawa wayang jék-jrék
nong!”
Ketika akhir
lagu, telapak tangan yang terbuka itu akan menangkap/menjepit, maka hap!
Anak-anak harus terampil menarik telunjuknya. Bila telat, akan
tertangkap/terjepit tangan si pengundi itu, dialah yang menjadi ucing.
Setelah
terpilih ucing, permainan huhuian ini dilanjutkan dengan menentukan seorang
“pamingpin”. Anak yang lainnya saling berebutan berbaris di belakang sang
pamingpin sambil memeluk erat pinggang sang pamingpin. Tangan sang pamingpin
memegang sebuah pohon atau sebuah tonggak kuat sambil jongkok atau duduk.
Setelah semua anak-anak berpegangan pada pinggang temannya, kemudian si ucing
yang berperan sebagai “pencabut hui (ubi)” mulailah bernyanyi sambil mencolek
dengan telunjuk atau memukul (secara halus) kepala anak yang berbaris dengan
kepalan tangan.
“Kelenang-kelenéng samping konéng,
keledat-keledut samping butut/Kurusak-korosak samping ruksak, kuruwak-korowék
samping sowék”
Selesai
mendendangkan lagu tersebut, terjadilah dialog antara ucing dengan sang pamingpin.
+
“Heey, urang lembuuuur, aya nini jeung aki? (ucing)
–
“Euweuh! Keur nyaba ka kota!” (ujar sang pamingpin)
+ ” Ari
éta naon nu tingjarentul?
–
“Hui!!!!!!!!!!!”
+
“Meunang diala?”
– “Hempék wé alaaa, ari butuh mah!”
Ketika anak
(barisan bagian ekor/belakang) akan dicabut/ditarik oleh ucing, maka ramailah
suara jeritan anak-anak dengan penuh kegembiraan. Akan lebih seru lagi manakala
si ucing “pencabut ubi” dengan sekuat tenaga mencoba menarik anak-anak dengan
sekuat tenaga mempertahankan pelukannya, agar tidak terlepas dari ikatan
teman-temannya. Nah, jika sudah terlepas dari barisan, anak-anak itu kemudian
berlari menjauh si ucing sambil tertawa dengan suka ria. Anak-anak berteriak
kepada temannya:”linghasan euy ucingna, ulah dilindeukaaa……..n!”
Meskipun
jenis maupun bentuk permainan di atas sangat sederhana, tetapi secara tidak
langsung mengandung makna yang sangat berguna terutama bagi pemupukan sikap
mental anak-anak. Dengan jenis permainan tersebut, anak-anak bisa menikmati
kegembiraan hidup tanpa harus dibeli oleh nilai rupiah. Selain itu, tampak pula
sikap kebersamaan dan rasa solidaritas anak-anak dalam bermain, hampir
dapat dipastikan jauh lebih komunikatif satu sama lainnya.
Dunia
Anak yang Hilang
Dunia seperti
itulah yang sekarang sudah berangsur-angsur hilang dan mungkin hanya menyisakan
beberapa permainan yang kini terseok-seok dalam mempertahankan
eksistensinya. Maka bisa dipastikan bahwa faktor-faktor hilangnya KKBS
pada saat sekarang ini disebabkan oleh ketidaktahuan si anak, sehingga menjadi
penghambat berkembangnya permainan tradisional baik di kalangan masyarakat atau
anak itu sendiri. Selain itu, kurangnya peran serta generasi sebelumnya
terhadap anak-anak di masa sekarang. Orang tua cenderung tidak mau ambil
pusing. Kalaupun ada perhatian, orang tua memilih permainan yang lebih praktis,
instan, dan serba dibeli.
Dunia
anak-anak sekarang ini umumnya merupakan dunia yang pasif. Sebagian waktu
senggang mereka yang seharusnya dipakai untuk bermain bersama (bersosialisasi),
banyak dihabiskan dengan bermain PS2, game watch, video game, atau hanya
nongkrong berlama-lama di depan TV.
Ketika
seorang anak bermain game, biasanya jika dihampiri oleh temannya akan merasa
terganggu karena dalam bermain alat itu memerlukan konsentrasi. Akibatnya anak-anak
lebih egois dan individualistis. Mereka benar-benar menjadi objek, dalam arti
bukan sebagai pelaku yang aktif (subjek).
Melihat
kondisi semacam itu, besar kemungkinan tercerabutnya anak-anak dari dunianya
yang asli, bahkan bisa dikatakan sebagai ancaman yang sangat serius. Dalam
transformasi budaya bisa menimbulkan konflik kepribadian berupa ancaman
kultural yang tidak bisa dianggap enteng. Relakah kita membiarkan anak-anak
kita generasi mendatang ditelan begitu saja oleh kultur baru yang akan
menjadi dunianya nanti?
Di antara
fungsi-fungsi yang paling menonjol dari KKBS itu adalah fungsi pedagogis yang
mendidik seorang anak menjadi orang yang berjiwa sportif. Misalnya permainan
bertanding yang bersifat siasat berfungsi untuk mengembangkan daya berpikir,
atau yang bersifat keterampilan fisik berfungsi mengembangkan kecekatan gerakan
otot-otot (saraf motorik).
Fungsi
lainnya yakni fungsi rekreatif, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur
lara, atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan, sehingga
dapat memperoleh kedamaian jiwa.
Dari semua
fungsi-fungsi KKBS itu, dapat diperas menjadi satu, yaitu fungsi untuk
menyiapkan anak-anak agar kelak dapat berpartisipasi aktif dalam kehidupan
masyarakat.***
Dede Kosasih
PR, 23 May 2009
No comments:
Post a Comment